Oleh: Achmad Nur Hidayat (Pakar Kebijakan dan Ekonom UPN Veteran Jakarta)
SAATINI.COM – Presiden Joko Widodo kembali melakukan reshuffle kabinet di penghujung masa jabatannya, termasuk menggantikan Tri Rismaharini sebagai Menteri Sosial dengan Saifullah Yusuf.
Keputusan ini menimbulkan banyak pertanyaan dan kritik mengenai urgensi serta manfaat dari reshuffle ini, terutama karena sisa waktu masa jabatan hanya sekitar 1,5 bulan.
Saya memandang bahwa reshuffle ini tidak hanya tidak efektif, tetapi juga memboroskan anggaran negara.
Baca Juga:
Nama-nama 46 Kementerian Kabinet di Bawah Pemerintahan Presiden Prabowo Subianto Telah Beredar
KPK akan Terbitkan DPO Jika Gubernur Kalimantan Selatan Sahbirin Noor Bersikap Tak Kooperatif
Dapat menimbulkan kesan bahwa penggantian menteri dilakukan untuk kepentingan pribadi, bukan untuk kepentingan negara.
Mengganti menteri dalam waktu yang sangat singkat, kurang dari dua bulan sebelum berakhirnya masa pemerintahan, merupakan langkah yang tidak efisien dari segi kinerja maupun anggaran.
Menteri baru yang diangkat dalam waktu sesingkat itu tidak akan memiliki cukup waktu untuk melakukan kebijakan strategis atau perubahan signifikan.
Waktu yang diperlukan untuk beradaptasi dengan posisi baru dan memahami dinamika kementerian sangat terbatas.
Baca Juga:
Perkuat Kompetensi Halal Internasional, 60 Orang dari 5 Lembaga Luar Negeri Terima Sertifikat BNSP
Rizieq Shihab Layangkan Gugatan Perdata kepada Presiden Jokowi, Pihak Istana Berikan Tanggapannya
Sehingga sangat sulit bagi menteri baru untuk memberikan kontribusi yang berarti.
Akibatnya, kinerja menteri baru hampir tidak akan berdampak, menjadikan pergantian ini tidak lebih dari sekadar formalitas politik tanpa manfaat nyata bagi masyarakat.
Lebih bijaksana jika Presiden menunjuk seorang Pelaksana Tugas (PLT) dari dalam kementerian itu sendiri, di bawah koordinasi kementerian terkait, daripada melakukan reshuffle yang penuh biaya.
Penunjukan PLT akan lebih efektif karena pejabat yang ditunjuk biasanya sudah memahami seluk-beluk kementerian dan tidak perlu melewati proses penyesuaian yang panjang.
Baca Juga:
Lewat Media Sosial Facebook, Seorang Ayah Jual Anak Kandung Berusia 11 Bulan dengan Harga Rp15 Juta
Pidato Hidup Sederhana, Ahmad Muzani Tanggapi Pertanyaan Jurnalis Soal Hidup Mewah Pejabat Publik
Dengan demikian, kebijakan dapat berjalan lebih optimal di sisa waktu pemerintahan tanpa harus terganggu oleh proses transisi.
Selain itu, langkah ini juga bisa menghemat anggaran negara yang semestinya tidak perlu dikeluarkan untuk pelantikan, pergantian staf, dan penyesuaian birokrasi lainnya.
Reshuffle ini juga menimbulkan kesan yang kurang baik di mata publik, seolah-olah Presiden Jokowi melakukan perombakan kabinet demi berbagi jabatan.
Yang dapat memunculkan spekulasi bahwa menteri baru merasa memiliki utang budi kepada pribadi presiden.
Pergantian ini bisa dilihat sebagai langkah yang lebih didorong oleh kepentingan pribadi atau politik, bukan kepentingan negara yang lebih luas.
Hal ini sangat berbahaya bagi citra good governance dan akuntabilitas pemerintahan, terutama di akhir masa jabatan.
Kepentingan negara seharusnya menjadi prioritas utama, dan dalam hal ini, langkah yang diambil justru memperlihatkan sebaliknya.
Dalam kondisi di mana negara menghadapi tantangan ekonomi, baik di tingkat domestik maupun global, kebijakan yang efisien dan berfokus pada kepentingan rakyat harus menjadi prioritas.
Pemborosan anggaran untuk reshuffle kabinet yang tidak memberikan dampak signifikan adalah keputusan yang keliru.
Uang yang dihabiskan untuk pelantikan, penyesuaian staf, dan proses transisi di kementerian seharusnya bisa dialokasikan untuk program-program yang lebih mendesak.
Seperti pemulihan ekonomi, perlindungan sosial, atau penguatan sektor-sektor strategis yang sedang dalam krisis.
Dalam perspektif tata kelola pemerintahan yang baik (good governance), keputusan reshuffle ini juga bertentangan dengan prinsip efisiensi dan akuntabilitas.
Publik berhak untuk menuntut penjelasan mengenai urgensi dan dasar pertimbangan di balik keputusan ini.
Dalam konteks anggaran yang terbatas dan prioritas kebijakan yang harus difokuskan, reshuffle di penghujung masa jabatan ini seolah menunjukkan.
Bahwa pemerintah tidak mempertimbangkan dengan matang alokasi anggaran dan kepentingan publik.
Kesimpulannya, reshuffle kabinet yang dilakukan Presiden Jokowi di sisa masa jabatan 1,5 bulan ini tidak hanya tidak efektif.
Tetapi juga memboroskan anggaran negara dan dapat menimbulkan persepsi negatif tentang motivasi di balik keputusan tersebut.
Penunjukan PLT di bawah koordinasi kementerian terkait akan jauh lebih efisien, baik dari segi anggaran maupun kinerja.
Pemerintah seharusnya berfokus pada penyelesaian program-program yang telah dijalankan dan menjaga stabilitas pemerintahan hingga akhir masa jabatan.
Bukan memperkenalkan langkah-langkah yang justru dapat merusak citra tata kelola yang baik dan bertanggung jawab.***
Sempatkan untuk membaca berbagai berita dan informasi seputar ekonomi dan bisnis lainnya di media Mediaagri.com dan Harianekonomi.com
Jangan lewatkan juga menyimak berita dan informasi terkini mengenai politik, hukum, dan nasional melalui media Infoekspres.com dan Hellotangerang.com
Sedangkan untuk publikasi press release di media ini atau serentak di puluhan media lainnya, klik Rilisbisnis.com (khusus media ekbis) dan Jasasiaranpers.com (media nasional)
Atau hubungi langsung WhatsApp Center Rilispers.com : 085315557788, 087815557788, 08111157788.
Pastikan juga download aplikasi Hallo.id di di Playstore (Android) dan Appstore (iphone), untuk mendapatkan aneka artikel yang menarik. Media Hallo.id dapat diakses melalui Google News.